A. Petugas yang Ditunjuk sebagai Pencatat Nikah Bagi Umat Islam
1. Siapakah pegawai pencatat nikah bagi umat Islam?
Dalam pasal 2 dan 3 PMA No. 11 Th. 2007, disebutkan tentang PPN:
a. PPN atau Pegawai Pencatat Nikah, yaitu: pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan. PPN dijabat oleh Kepala KUA Kecamatan.
b. Penghulu, yaitu: pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.
c. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu PPN/P3N, yaitu anggota masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk membantu tugas-tugas PPN di desa tertentu.
2. Siapakah yang mengangkat PPN, Penghulu, Pembantu Penghulu?
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU. No.22 Th. 1946 jo. UU. No. 32 Th. 1954 menegaskan bahwa PPN (Pegawai Pencatat Nikah) bagi umat Islam harus diangkat oleh Menteri Agama atau diangkat oleh pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Dalam teknis pelaksanaannya, maka:
a. Berdasarkan Diktum Pertama PMA No. 1 Th. 1976 jo. pasal 2 Kep. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. 18 Th. 1993, maka PPN diangkat oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi atas usul Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
b. Berdasarkan pasal 10 Peraturan Bersama Kepala BKN dan Menteri Agama R.I. No. 20 Th. 2005/No. 14 A Th. 2005 jo. pasal 21 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.: PER/62/M.PAN/6/2005 jo. Diktum Pertama PMA No. 1 Th. 1976 jo. pasal 2 Kep. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. 18 Th. 1993, maka Penghulu diangkat oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi atas usul Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
c. Berdasarkan pasal 3 ayat (2) dan (3) jo. Instruksi Dirjen Bimas Islam No.: DJ.II/1133 Th. 2009, maka Pembantu PPN diangkat oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota berdasarkan:
a. Usul Kepala KUA Kecamatan.
b. Rekomendasi tertulis dari Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Kementerian Agama/Kota.
c. Izin tertulis dari Dirjen Bimas Islam Kementerian R.I.
B. Tugas dan Kewenangan Pegawai Pencatat Nikah
1. Apakah tugas dan kewenangan PPN?
Berdasarkan Pasal 2 PMA No. 11 Th. 2007, dijelaskan:
a. Melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.
b. Menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta rujuk.
2. Apakah tugas dan kewenangan Penghulu/Pembantu PPN?
Berdasarkan pasal 3 PMA No. 11 Th. 2007 dapat diambil pengertian bahwa tugas Penghulu dan Pembantu PPN: Mewakili PPN dalam pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan, setelah mendapat mandat dari PPN.
Namun terdapat perbedaan yang tegas antara Pembantu PPN di Jawa dan Luar Jawa dalam pelaksanaan kewenangannya. Pembantu PPN di Jawa hanya menerima dan memeriksa persyaratan peristiwa Nikah tanpa memiliki kewenangan untuk mengawasi jalannya peristiwa perkawinan yang menjadi kewenangan Penghulu. Sedangkan Pembantu PPN di luar Jawa memiliki kewenangan menerima, memeriksa persyaratan dan mengawasi jalannya peristiwa perkawinan.
3. Apakah Penghulu/Pembantu PPN dapat menjalankan tugas dan kewenangannya tanpa mandat dari PPN atau dicabut mandatnya oleh PPN?
Berdasarkan pasal 4 PMA No. 11 Th. 2007 diwajibkan Penghulu dan Pembantu PPN menjalankan tugas dan kewenangannya dengan mandat dari PPN, sehingga konsekuensi hukumnya jika Penghulu atau Pembantu PPN tidak mendapat mandat atau dicabut mandatnya oleh PPN, maka tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangannya, sekali pun telah memperoleh Surat Keputusan pengangkatan sebagai Penghulu dan Pembantu PPN.
4. Bagaimana jika suatu wilayah desa dan kecamatan tidak memiliki Penghulu atau Pembantu PPN, siapakah yang berwenang mencatatkan perkawinan?
Dalam situasi ini tidak ada Penghulu dan Pembantu PPN, maka kewenangan pencatatan nikah dan mengawasi jalannya peristiwa dilakukan oleh PPN. Sedangkan jika memiliki Penghulu, maka kewenangan pencatatan nikah dan mengawasi jalannya peristiwa atau Penghulu jika dimandatkan oleh PPN.
5. Bisakah PPN, Penghulu, Pembantu PPN mencatat perkawinan yang dilakukan orang beragama non muslim?
PPN, Penghulu, Pembantu PPN tidak boleh mencatatkan perkawinan yang dilakukan orang beragama non muslim karena tidak memiliki kewenangan sama sekali. Kewenangan mencatatkan perkawinan yang dilakukan orang beragama non muslim adalah Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil berdasarkan pasal 2 ayat (2) PP. No. 9 Th. 1975.
6. Siapakah yang mencatatkan peristiwa nikah WNI yang terjadi di Luar Negeri?
Berdasarkan KMA No. 463 Th. 2000, maka pencatatan nikah dilakukan oleh Pejabat yang membidangi masalah kekonsuleran sebagai Penghulu. Jika Pejabat yang membidangi masalah kekonsuleran tidak beragama Islam, maka pencatatan nikah dilakukan oleh pejabat lain yang ditunjuk oleh Duta Besar atau Konsul.
7. Bagaimana jika pihak calon suami dan calon istri keduanya berbeda domisili, PPN mana yang berhak mencatatkan perkawinan?
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Bimas Islam No.: D II.2/1/HM.01/982/2009 tanggal 2 Juni 2009 tentang Asas Pencatatan Perkawinan, maka ditegaskan bahwa asas pencatatan menganut asas tempat terjadinya perkawinan, bukan domisili. Oleh karena itu, PPN yang berhak mencatat adalah PPN yang mewilayahi tempat dilangsungkannya perkawinan.
8. Adakah sanksi jika perkawinan dilakukan tidak di hadapan PPN, Penghulu, atau Pembantu PPN (Kawin Siri)?
Peraturan Perundang-Undangan mengkategorikan sebagai pidana pelanggaran dengan sanksi:
a. Suami istri yang melakukan perkawinan ini menurut Pasal 45 ayat (1) PP. No. 9 Th. 1975 dikenakan sanksi hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
b. Orang yang bertindak melangsungkan perkawinan diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah), sedangkan pasal 530 KUHP memberikan pidana Rp. 4.500,-. Jika perkawinan tersebut dilangsungkan belum berjalan (dua) tahun, maka ditambah dengan ancaman pidana paling lama 2 (dua) bulan penjara.
Dengan berjalannya waktu, maka sanksi tersebut menjadi sangat ringan, sehingga saat ini tengah dipersiapkan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama yang memberikan sanksi lebih berat terhadap perkawinan yang dilakukan tidak di hadapan PPN, Penghulu atau Pembantu PPN, yaitu:
a. Pada pasal 143 dan 151 Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama disebutkan bahwa Suami istri dipidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau sanksi kurungan penjara paling lama 6 (enam) bulan penjara dengan kategori pidana pelanggaran.
b. Pada pasal 147 dan 151 Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Orang yang bertindak melangsungkan perkawinan diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun penjara dengan kategori pidana kejahatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar